Jakarta - Keanekaragaman hayati (kehati) merupakan salah satu kekayaan penting bangsa yang perlu dikelola secara berkelanjutan.
Untuk itu, pemerintah daerah didorong memperkuat peran, baik dari sisi regulasi, pendanaan, maupun kolaborasi lintas pihak.
Indonesia telah memiliki Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) yang berisi 3 tujuan, 20 target, 9 strategi, dan 95 aksi terkait kehati.
Agar lebih efektif dijalankan di daerah, Rakornas Kehati 2025 menekankan perlunya penguatan regulasi melalui peraturan pemerintah atau perpres sehingga IBSAP dapat menjadi acuan yang kuat dalam perlindungan dan pemanfaatan kehati.
Direktur SUPD I Ditjen Bina Pembangunan Daerah, Edison, menyampaikan perlunya perhatian yang lebih besar di tingkat pusat dan daerah terkait Pengelolaan Kehati.
“Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014, kehati termasuk sub-urusan lingkungan hidup. Namun masih perlu ditingkatkan dalam perencanaan dan penganggaran agar lebih mencerminkan prioritas,” katanya dalam Rakornas Kehati 2025 di Jakarta belum lama ini.
Berdasarkan data dari Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD) Kemendagri, rata-rata alokasi APBD 2025 untuk urusan lingkungan hidup sebesar 1,49 persen, atau sekitar Rp20,87 triliun dari total Rp1.399 triliun APBD nasional. Khusus untuk program Keanekaragaman Hayati, tercatat 18 provinsi yang telah menganggarkan dalam dokumen perencanaan daerah.
Ia menjelaskan, Indeks Pengelolaan Kehati (IPKH) telah ditetapkan sebagai outcome prioritas tahun 2025 dalam Permendagri Nomor 12 Tahun 2024 tentang Pedoman RKPD.
Dengan demikian, pemerintah daerah diharapkan menempatkan kehati sebagai salah satu prioritas pembangunan.
Rakornas Kehati 2025 juga menyoroti tantangan lain, mulai dari konversi hutan lebih dari 17 juta hektare di antaranya menjadi perkebunan sawit hingga perburuan dan perdagangan satwa ilegal.
Selain itu, pemahaman publik yang masih terbatas dan koordinasi antar-stakeholder dinilai perlu ditingkatkan.
Sebagai tindak lanjut, forum ini mendorong langkah konkret di tingkat daerah, antara lain memperkuat perlindungan hingga ke tapak, meningkatkan kerja sama dengan akademisi, swasta, LSM, dan komunitas adat, mendorong riset di wilayah terpencil, serta memperhatikan pemulihan ekosistem pasca-bencana seperti kebakaran hutan dan banjir.